Abdi dalem Darno Pawoko berjaga di seberang Bangsal Kencono di kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Kamis (18/11/2010). Keraton Yogyakarta merupakan salah satu daya tarik wisata Kota Yogyakarta.
KOMPAS.com — Terus tertundanya pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta lebih dari tujuh tahun menyisakan polemik di pengujung tahun 2010. Padahal, RUU ini menjadi salah satu prioritas Program Legislasi Nasional di DPR tahun ini. Sementara pemerintah tak kunjung menyerahkan draf RUU kepada Dewan.
Rasa jenuh masyarakat, terutama warga Yogyakarta, seakan mencapai puncaknya. Kejenuhan seolah berubah menjadi api ketika disiram pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat terbatas kabinet, Jumat (26/11/2010) lalu, tentang RUU Keistimewaan Yogyakarta.
SBY menyebutkan ada tiga pilar yang harus diperhatikan dalam penyusunan RUU ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, keistimewaan DIY berkaitan dengan sejarah dari aspek-aspek lain yang harus diperlakukan sesuai dengan UU, serta aspek Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi. Setelah itu SBY melontarkan pernyataan yang menjadi kontroversi hingga hari ini.
"Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi maupun nilai-nilai demokrasi," katanya.
Kontan, publik terkejut. Pernyataan SBY dinilai mengada-ada. Reaksi keras pun terus bermunculan. Apalagi, SBY hingga kini belum pernah mengonfirmasi pernyataannya itu secara langsung.
Di berbagai media Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga mengaku bingung dengan pernyataan SBY, terutama dengan penggunaan istilah "monarki". Menurut Sultan, pemerintahan daerah di DI Yogyakarta memiliki sistem dan manajemen organisasi yang sama dengan provinsi lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, serta peraturan pelaksanaannya.
Bahkan, Sultan menegaskan akan mempertimbangkan kembali jabatannya jika pemerintah pusat mengganggu penataan pemerintahan di DIY terkait dengan pemilihan atau penetapan gubernur. Sultan juga tidak ingin masyarakat luas menilai bahwa pemerintahan daerah di DI Yogyakarta bersifat monarki dan bertentangan dengan demokrasi. Sementara itu, mayoritas masyarakat Yogyakarta yang pro-penetapan kemudian menggulirkan usul referendum.
Pernyataan Sultan disusul oleh berbagai pernyataan dari berbagai kalangan. Seperti ada amarah di balik pernyataan yang susul-menyusul dan menggelembungkan monarki sebagai isu nasional yang menghiasi halaman media dalam sepekan ini.